Translate

samedi 3 octobre 2015

Padamu Wanita Yang Hanya Bisa Kupuja

Aku bukanlah seorang pujangga.
Hanya lelaki biasa yang benar-benar biasa saja. Tak punya harta.
Meskipun hari-hariku dihabiskan untuk bekerja, semuanya habis tak bersisa. Tak cukup untuk sekedar menjanjikan padamu secuil permata.
Aku benar-benar biasa saja. Jika wajah yang rupawan, menjadi salah satu idamanmu sudah tentulah itu bukan aku. Meskipun aku mencoba segala cara, penampilan menawan tidak akan kudapati. Setidaknya dalam penilaian di matamu.

Sementara kamu adalah surga. Tempat bersarangnya segala keindahan di mata ini. Tak hanya raga, tapi juga jiwa.
Kamulah puncak everest dalam imipianku yang sempit. Yang hanya tertuju padamu.
Puncak tertinggi dalam duniaku yang akan teramat sulit untuk digapai. Kecuali bagi mereka yang punya peralatan pendakian serba lengkap. Dan berkelas tentunya.
Tongkat kayu penopang tubuhku sudah tentu tak sedikitpun menyaingi tongkat logam milik mereka. Yang mungkin dipakai hanya untuk dokumentasi. Hanya untuk konsumsi pribadi.
Tidak ada daya bagiku untuk berusaha mendakimu.
Bahkan kesempatan pun tidak akan pernah ada.
Tidak akan.
Tidak akan pernah.
Tidak akan pernah ada.

Kesempatan terbesarku hanya berusaha mendapatkan tongkat logam itu dengan keringatku sendiri. Meskipun aku tau, itu saja jelas tidak cukup.
Yah, setidaknya aku bisa menyentuh dasarmu.
Bahkan seandainya aku mencapai puncakmu, itu hanya akan terjadi jika kau runtuh. Kemudian mereka lagi yang melestarikanmu dari orang-orang tidak tahu diri sepertiku.
Wajar saja, aku bukan pecinta alam. Melestarikan alam bagiku tidak sepenting mencari makan untuk hari ini dan besok.

Kamu wanita itu. Bukan wanitaku.
Kamu seringkali merendah serendah-rendahnya. Pujianku kau abaikan dengan kerendahanmu yang nyata terlihat sebagai penolakan halus.
Seperti biasa. Kau selalu berujar padaku, dan pada semua orang sepertiku, bahwa seusungguhnya di atas langit masih ada langit.

Hey, jenaka macam apa ini?!
Kau tahu?!
Aku terbiasa berpijak pada bumi yang bersahaja! Troposfer pun bagiku sangat mempesona!
Maksudku, kenapa harus menggunakan basa basi yang seperti itu?
Ah, tapi itu yang membuatku sadar. Itu kode darimu bahwa aku hanyalah bumi yang terlalu kecil untuk langit sepertimu.
Kamu memang langitku. Penghias malam gelapku dengan cahaya bintang di setiap sisimu.

Dan aku pun sadar. Kamu langit dan aku buminya. Dan kamu benar-benar langit. Keindahanmu bertingkat. Masih ada langit di atasmu.
Bukan persoalan ada yang lebih indah darimu. Tapi ini tentang kamu. Tentang keindahanmu yang lebih dari ini. Langitmu yang lebih tinggi. Yang tentu saja belum kutemukan saat ini. Mungkin juga tidak akan pernah kutemukan untuk waktu yang lama.
Ya, benar. Untuk selamanya.

Aku yang selalu menilaimu sebagai puncak everest. Aku yang menjudge dirimu sebagai eksosfer. Dan aku yang dengan bodohnya terus berusaha menggapaimu dengan kedua tangan kasar dan dengan kedua kaki yang bahkan tak beralas ini.
Harusnya aku sadar padamu eksosfer malamku.
Meskipun sesungguhnya kau hanyalah troposfer, dan semisal dengan segala kehebatan aku yang jadi everest pun sudah sepantasnya aku tau batasan kita. Apalagi jika pada kenyataannya aku adalah palung terdalam tempat bersarangnya kegelapan tanpa batas.
Serendah-rendahnya dirimu dan setinggi-tingginya diriku, kau tetap langit dan aku tetaplah bumi.

Segala upayaku tak mungkin mampu sepadan denganmu. Sampai everest-ku runtuh pun tak akan pernah aku bersanding denganmu.
Karena kau adalah langit. Seluruh permukaanku dapat dengan mudahnya kau selimuti tanpa mengeluarkan satu persen pun dari keseluruhanmu.
Dan sudah pasti. Jikalau ada tempat seindah surga di bumiku ini, sudah tentu takkan sanggup mengimbangi setitik kemewahanmu.

Karena kau adalah langit. Selayaknya tempatmu tinggi. Dan selayaknya aku meninggikanmu.
Karena kau adalah langitku. Yang sewajarnya menyelimuti malamku dengan taburan gemintang dan sekepal cahaya rembulan. Sebatas itu. Sama sekali tak terbersit hasrat untuk bersanding dengan bumi yang semakin rusak ini.
Karena kau langitku. Langit siangku. Langit malamku. Troposferku. Tempat aku bernafas. Eksosferku. Tempat aku mati karena terlalu tak tau diri menggapaimu.
Karena kau langitku. Maafkan aku mencintaimu.
Setidaknya aku adalah bumi.
Setidaknya aku dan memang hanya aku yang selalu setia menjadi tempat untuk kau meneteskan hujanmu.

Aucun commentaire:

Featured Post

L'herbe du voisin est plus verte, mais la nôtre est plus épaisse

Peut-être que ma vie est trop une blague. Parce que pour moi dans la vie, on ne peut pas être trop sérieux. Parfois, nous avons besoin d'...